Narasi Seks Asli 2018 Ini lawatan dinasku entahlah yang keberapa kali ke Kuala Lumpur. Jujur saja, saya sangat nikmati tiap ditugasi kantor ke KL. Cuaca yang hampir sama dengan Jakarta, hasrat makanan yang mirip-mirip sama yang berada di tanah air, ongkos hidup yang termasuk murah, sampai budaya yang serupa dengan negara sendiri. Orangnya ramah pada orang Indonesia terkecuali TKI ilegal. Yang berbeda, KL lebih kekinian dan teratur daripada Jakarta. Tidak harus berdiskusi karena itu realita yang terdapat.
Cersex Selingkuh – HP-ku mendadak berdering. Ya ampun, saya lupa tetap menggunakan simcard Jakarta. Umumnya saya beli simcard Malaysia setelah tiba di KLIA. Ini kali karena masalah imigrasi, baggage reclaim, sampai kustom yang nyebelin, saya menjadi tergesa-gesa ke arah basis KLIA Ekspres dan lupa beli simcard.
Saya baca didalamnya dari Dina, kekasihku. Seperti umumnya, kekasihku kurang dapat bermanis-manis di depanku, sama seperti saya ke ia. SMS yang didalamnya mengingati saya untuk membeli simcard Malaysia seperti umumnya.
“Jangan lp membeli sim card M’sia. Sgr hub q ya”
Entahlah saya yang aneh atau seseorang, karena saya kurang sukai bahasa sms yang hobynya mempersingkat-nyingkat kata. Iyalah, kelak, jawabku dalam hati tanpa me-reply sms Dina. Waktu itu saya belum mengetahui jika kealpaan saya beli simcard Malaysia rupanya ada untungnya.
Pada akhirnya saya sampailah di dalam kamar. Saya bisa istirahat. Baru melepaskan pakaian dan tiduran, satu kali lagi HP-ku berdering. Satu kali lagi dari Dina, mengingati hal yang masih sama. Huh! Cerewet sekali sich ini cewek. Belum melepaskan HP dari pegangan, sms lain tiba. Tetapi ini kali tidak dari Dina.
“Mas Adri, kata mas Eri kembali berada di Kuala Lumpur ya? nginep di mana? saya kembali di Kuala Lumpur. -Aida-”
Saya terlonjak terkejut. Aida, istri teman dekatku Eri kembali berada di Kuala Lumpur? Mengapa Eri tidak katakan ke saya jika Aida ada juga gagasan kesini. Jika tahu kan apapun dapat diurusi bersama. Jalinan saya bersama pasangan ini sudah dekat dari dahulu, semenjak zaman saya kuliah. Mereka telah pacaran lama dan menikah belum satu tahun ini.
“Aida! Kok Eri tidak katakan kamu kesini . saya di hilton, kamu di mana?”
Tidak sampai satu menit, ada balasan.
“Ya.., seblhan donk, saya di Le Meridien. ktmuan yok”
Nach! Inilah kebenaran yang menyenangkan. Selekasnya terpintas dalam benakku figur Aida yang menarik. Elok, putih mulus, memiliki tubuh aduhai dan yang khusus, berdada besar, selalu membuat mata lelaki melotot menyaksikan keelokan badannya. Tidak berpikir panjang kembali, saya reply smsnya dengan kalimat tegas.
“Ayok. bertemu di lobby, saat ini!”
Aku segera meloncat dan segera menggunakan sepatu. 1/2 berlari, saya keluar kamar dan ke arah lift. Mendadak satu kembali sms ada.
“lobby mana? LM apa hilton?”
Oiya lupa. Pintu masuk ke-2 hotel ini dari KL Sentra memang satu, tetapi masing-masing punyai lobby sendiri, yang cuma dipisah oleh pintu.
“Lupa, LM saja, saya ke situ.”
Tidak sampai 10 menit saya telah di lobby hotel Le Meridien. Duduk di salah satunya bangku, saya menyisir pandangan ke semua arah, cari figur Aida. Tidak lama, dari lift ada wanita dengan tinggi sekitaran 165 cm celingak-celinguk, hingga kemudian mata kami sama-sama berpandangan dan seutas senyuman terumbar dari bibirnya.
Jika Aida tersenyum, saya justru cuma menelan ludah. Menggunakan kaus ketat warna hijau dengan rok selutut, lekuk badan Aida kelihatan terang. Dadanya mencolok besar sekali dan tergetar tiap dia m*****kahkan kaki. Di tengah-tengahnya, sebuah garis sedikit gelap cukup tersamar memotong dua benjolan melawan tersebut. Saya paksa tersenyum. Benar-benar, ini panorama mencekam untuk tiap lelaki.
Saya menjadi terpikir saat saya pertama kalinya kenalan dengannya di universitas. Dia adik kelasku tiga angkatan. Saat dia masuk saya waktu itu memegang sebagai Ketua Senat Mahasiswa Fakultas (saat ini mungkin namanya Tubuh Eksekutif Mahasiswa). Pertama menyaksikannya saat opspek di universitas. Dan jujur saja, waktu itu perhatian pertama kaliku kepadanya ialah buah dadanya yang super besar, walau dikaburkan baju sekolah putih. Saya untung karena akulah senior pertama kali yang dekat dengannya. Kami kerap berunding bersama di ruangan Senat dan dari sana saya tahu Aida punyai otak yang cukup encer, walaupun cukup polos dan polos.
“Hei! Disenyumin dari barusan kok seperti orang bingung begitu,”
Aku juga berdiri menyongsong juluran tangannya yang putih mulus. Salaman itu di ikuti dekap cium penuh keakraban. Dadanya sedikit bersinggungan dengan dadaku saat kami sama-sama tukar kecupan di pipi.
Itil V3
“Apa kabarnya mas? Mas Eri yang katakan mas ingin kesini. Saat itu sempat bertemu Mas Eri ya?” cerocosnya dan ini kali saya sadar dari barusan Aida yang buka perbincangan.
“Iya, tetapi Eri benar-benar tidak katakan kamu ingin kesini , menjadi saya terkejut sekali terima sms kamu,”
“Saya memang tiba-tiba mas, dapat pekerjaan dari kantor, menggantiin teman yang sakit. Cocok saya katakan ingin kesini, baru mas Eri katakan mas ingin kesini.”
“Oh begitu. Ok, saat ini apa gagasannya? Ingin keluar makan?” tanyaku basa-basi, walau sebenarnya saat itu jam tetap memperlihatkan jam 11, ingin makan terang tanggung.
“Saat ini? Masih kenyang mas, tersisa breakfast saja belum turun. Ke atas dahulu saja yok. Mari donk, beberapa cerita dahulu, kita kan paling akhir bertemu cocok kawinan,”
Wah, penawaran yang menggembirakan. Sekamar berdua dengan Aida. Huh, pikiranku mulai kacau-balau. Tetapi tiba-tiba langsung saya menggenapkan kemauan dalam hati untuk membuat hubungan kami di sini. Tentu saja “hubungan” yang lebih dari sekadar teman dekat lama atau istri teman dekatku. Sempat terjadi pertentangan batin. Tetapi, ini kali saya berusaha untuk berpikiran sebagai lelaki. Membuat hubungan sukur-sukur dapat terikut situasi dan terjadi beberapa hal yang diharapkan, hehehe.
“Tidak papah saya ke kamar?” satu kali lagi saya basa-basi, semata-mata jaga kesopanan.
“Tidak papalah, siapa yang tahu, yok,”
Aida langsung menggandeng tanganku dan jalan ke lift. Di lift, saya cukup terkejut karena lantai tujuan Aida ialah lantai terbatas dan yang saya tahu ialah tempat kamar-kamar suite. Apes, sangkaan saya betul, Aida bermalam di dalam kamar Executive Suite, kamar yang punyai ruangan tamu sendiri selainnya ruang tidur.
“Harusnya saya dapat porsi dari kantor kamar deluxe saja. Hanya sama mas Eri dibookingin suite. ya udahlah, tidak ada ruginya, lebihnya mas Eri yang bayar,” Aida seperti tahu ketidaktahuan yang hinggap di kepalaku.
Aida benar-benar bukan berniat tinggi hati. Dia memang istri dari pewaris pebisnis kaya yang telah terbiasa hidup eksklusif. Aida sendiri bukan wanita materialistis, tetapi suaminya, teman dekatku Eri, memang orang kaya. Walau istri orang kaya, Aida masih tetap ingin mengaktualisasikan diri. Itu penyebabnya dia pilih bekerja di lokasi yang tidak ada hubungan dengan perusahaan suaminya.
Di dalam kamar, kami bercakap beragam hal. Aida paling semangat saat topik berpindah ke masalah kekasih dan mengapa saya belum menikah. Saya dapat tangkap suara ketaksukaan Aida pada Dina, wanita yang telah saya kekasihi sepanjang 3 tahun. Entahlah kenapa, walau sebenarnya Dina dan Aida tidak sama-sama mengenali. Dina saya mengenal saat saya mulai bekerja sekitaran tujuh tahun kemarin.
“Maka calonnya masih sang Dina?”
“Calon apaan? Statusnya ia memang kekasih mas Adri, tetapi kan belum pasti menjadi calon,”
“Terus carinya yang seperti bagaimana?”
“Seperti bagaimana ya? Tidak tahu dech, seperti kamu kali,”
Aha! Sekalimat rayuan mulai saya lontarkan, tetapi terang-terangan saya benar-benar tidak berusaha membujuk Aida. Mukanya sedikit cemberut, tetapi saya tahu bukan cemberut kecewa.
“Ih, kok saya sich, serius ah…”
“Lho? serius. Saya sudah mengenal kamu lama dan sejauh ini saya merasa kamu itu cewe yang memikat dan menggembirakan.
Aneh kalau saya cari yang seperti kamu? Kan tidak mungkin dengan kamu,”
Mukanya senang dan bersemu merah. Aida sedikit lebih memajukan duduknya.
“Hus, jangan mikir begitu ah,” tangannya dikibaskan di ikuti tawa yang berderai.
Jam 13.30 waktu Malaysia (yang sama dengan WITA), kami putuskan keluar cari makan. Tujuan kami satu, teritori Jl. Bukit Bintang yang disebut pusat niaga KL. Di sana kita dapat cari apa, tempat makannya banyak juga yang pas dengan lidah orang Indonesia.
Dari KL Sentra, kami jalan ke arah stasiun monorail yang jaraknya sekitaran 200-an mtr.. Benar-benar, sepanjangnya jalan itu, beberapa puluh mata lelaki saya lihat mencuri-curi pandang ke Aida. Sepanjang jalan bersama, saya selalu berusaha jaga jarak. Saya tidak ingin lancang karena belum tahu benar apa yang telah ada dibenak Aida. Bagus jika ia tidak menampik bila contohnya saya gandeng, atau rangkul. Tetapi, andaikan menampik? Dapat ribet. Dapat buyar semua gagasan kelaki-lakian yang berada di otakku.
Cuma saat di monorail kami bersisihan. Kadang-kadang saya mengambil pandang ke belahan di dadanya yang kelihatan sekitaran lima cm saat sebelum tertutup bahan kausnya. Waktu jalan ke arah sebuah chinese food di dekat pertokoan Lot 10, saya menyengaja jalan ada berada di belakangnya sekadar agar dapat kagum pada badan menarik punya Aida.
Narasi Seks Terkini Cinta Yang Tidak Dapat Kumiliki
Usai makan, kami jalan-jalan keliling KL. Aida bukan wanita yang suka berbelanja, menjadi jalanan kami sebenarnya cuma untuk isi waktu. Ini cocok dengan rencanaku untuk menbina hubungan dengan Aida. Dan, rencanaku mulai terwujud karena menj***** sore sesudah dua jam lebih jalan-jalan, Aida mulai berani menggandeng lenganku sepanjang jalan. Hahaha, sebagai lelaki, Aida buka peluang buatku untuk menyentuhkan sikutku ke dadanya. Trick kuno memang, tetapi tetap berasa sedap. Dadanya empuk tetapi masih tetap keras dan kenyal.
“Kembali ke hotel yok mas, pegel nih,”
“Ya sudah, kita rileks di hotel saja. Hotel kamu apa saya?”
“Sama saja lah. Atau ke Hilton saja, mas kan belum mandi dari barusan dateng,”
Benar . Saya memang belum beres-beres semenjak datang di hotel.
“Ok, kamu ingin turut ke kamar saya? Kecil Da, kamar seadanya, namanya pekerjaan kantor,”
“Tidak papah, mengganti situasi, bosen saya di dalam kamar itu terus sudah dua malem,”
Ok jika demikian. Kami lantas ke arah Hilton setelah tiba di KL Sentra. Di dalam kamar, sama sesuai gagasan saya mandi, sedangkan Aida asyik mainkan remote tv. Mukanya seperti tidak semangat menyaksikan berbagai ragam tayangan tv Malaysia yang kurang sudi di hasrat orang Indonesia. Terakhir dia justru pamit kembali ke hotelnya karena ingin istirahat dahulu. Tetapi, kami janjian untuk dinner bersama sekitaran jam delapan. Saya menyengaja tidak tawarkan diri mengantarkan semata-mata untuk menghindar dari kesan-kesan saya ingin terus berduaan dengannya.
Sendiri di dalam kamar, saya berusaha menurunkan pergolakan libido yang sejak dari barusan mengucur lanjut di sekujur badan. Tetapi, makin ingin diredakan saya justru makin gairah, apalagi memikirkan badan Aida yang menarik. Berusaha tidur, yang terdapat tangkai kemaluanku justru makin menegang. Benar-benar serba salah dan menganiaya sekali. Saya mengharap waktu bergulir cepat sampai datang jam delapan.
Hingga kemudian datang yang saya tunggu. Saya segera ke hotel samping untuk jemput Aida. Ini kali saya dapat segera ke lantai tujuan karena Aida barusan memberikan satu kunci kamarnya ke saya. Saya menebak, pakaian apakah yang akan digunakan Aida. Jika menggunakan pakaian seksi kembali, tersebut yang saya harap.
Tetapi, kemauanku tidak berhasil diwujudkan. Waktu buka pintu, Aida justru tetap menyenangkan kimono tidur dan gantengg kelihatan masih mengantuk. Betul memang falsafah orangtua, jika ingin menyaksikan kecantikan wanita, lihatnya saat dia bangun tidur. Itu yang kelihatan pada Aida. Walau matanya masih mengantuk, dia justru kelihatan semakin elok tanpa polesan make-up.
“Baru bangun?”
“Iya nih mas. Saya cape sekali. Kita makan di dalam kamar saja apa? Room servis saja ya?”
Yah, saya cuma dapat mengikuti tekadnya. Ingin apalagi, jika wanita telah malas lakukan suatu hal, jangan dipaksakan, justru dapat berabe.
“Ya sudah, kamu yang pesen dech, kebenaran, saya ingin menonton bola,” ucapku sekenanya, walau sebenarnya saya belum mengetahui hari itu ada laga sepakbola apa tidak di tv. Kalaulah ada, siapa musuh siapa saya tidak paham. Sekalian menanti order tiba, Aida mandi sementara saya repot menekan-mencet remote tv. Situasi di dalam kamar Aida memang nyaman. Melihat tv tidak berasa tegang seperti pada kamar hotel biasa.
Saya terkejut saat menyaksikan Aida keluar kamar mandi. Jantungku berasa bedegup kuat melihat panorama hebat yang berada di hadapanku. Aida ini kali menggunakan pakaian yang lebih berani dari siang tadi. Kaus tanpa lengan kendur dan cuma hanya pusar dan celana pendeklah yang digunakannya. Ini kali saya dapat menyaksikan putingnya mencicipi di kaus bahkan juga sedikit bongkahan dadanya dari lubang di bawah lengan. Sangat indah, benar-benar cantik, membuat kemaluanku menegang.
Kepuasan mataku usai saat kimono tadi digunakannya tidur digunakannya lagi. Tetapi, karena kimono itu bukan kimono yang panjang, saya bisa menyaksikan mulusnya paha Aida yang putih bak pualam yang berkilau.
“Siapa musuh siapa?”
Aida gabung duduk di sebelahku. Kaki kanannya ditumpangkan ke kaki kiri. Seksi. Hanya itu kesan-kesan yang saya merasai.
“MU-Portsmouth,” jawabku pendek, saya tidak konsen bahkan juga saat room servis tiba mengantar order kita.
Aida repot menuntaskan kerjanya sehabis kami makan malam. Mukanya serius mengutak atik data di netbook. Menurut dia dia esok ada presentasi sekitaran jam 10. Dibanding tergesa-gesa, dia ingin semua usai saat sebelum tidur. Terakhir, sesudah malam makin terlarut, kelihatannya dia mulai temukan kesusahan untuk memprogram presentasinya. Menyaksikan demikian, saya coba turun tangan dan menuntunnya membuat presentasi dengan design yang memikat. hingga kemudian saya sendiri yang turun tangan kerjakan.
“Sudah, agar saya saja yang membuat, kamu tidur saja Da,”
“Tidak papah mas? Saya memang mengantuk nih,”
“Ya sudah sana tidur saja, agar esok lebih fresh,” waktu itu waktu memperlihatkan jam 1 dini hari.
“Mas tidur di sini saja ya,” pintanya.
Wah! inilah peluang emas yang saya tunggu. Tetapi saya sadar diri dan memperlihatkan karpet untuk tempat kelak saya tidur. Aida sepakat dan membuat tempat tidur genting dari bed cover. Waktu atur tempat saya tidur tersebut untuk pertamanya kali saya menyaksikan payudara Aida secara frontal saat dia merunduk. Putingnya warna coklat muda yang membuatku makin blinsatan sendiri.
“Di sana ya mas, saya tidur dahulu, oya, kalau perlu celana pendek, itu ada almari,”
“ok”
Hingga kemudian semua tugas Aida usai saya atur. Ambil celana pendek di almari kamar tidur, saya menyaksikan badan Aida tertutup selimut dan tidak mungkin saya dapat menyaksikan beberapa bagian badannya yang melawan kembali. Ini kali saya telah pasrah, dan telah berpikiran untuk mengawalinya kembali keesokan hari.
Tetapi, saat coba tidur, pikiranku berkeliaran lagi. Menurutku ini salah satu saat yang pas bila ingin memperoleh apa yang idam-idamkan sejauh ini. Menanti esok maknanya saya harus mengawali kembali dari sejak awalnya. Saat ini atau mungkin tidak sama sekalipun. Hingga kemudian saya memilih untuk bangun dan punya niat mendekati Aida yang tidur dan memulai mengatakan kemauanku.
Kemauanku telah bundar, dan perlahan-lahan geser partisi. Tetapi, seperti disikat petir, sebuah panorama di luar sangkaanku terpajang di mataku. Kaus Aida terkuak dan dengan posisi tangan yang terangkut ke samping kepala, buah dada Aida kelihatan terang. Dengan tegas saya dapat menyaksikan detil bongkahan menarik tersebut. Sesaat saya mundur-maju mengenai apa yang hendak saya kerjakan. Langsung saya melakukan tindakan atau mungkin tidak. Susah sekali tentukan opsi. Jujur, saya ingin meremasnya dan menjilat-jilati puting buah dada yang lebih besar dan melawan itu bahkan juga lebih, yakni bercinta dengan Aida. Tetapi, saya takut karena jalinan kami yang sejauh ini baik dan tidak ternodai beberapa hal semacam itu.
Belum saya tentukan opsi, mendadak badan Aida bergerak dan terjaga. Keputusan harus saya mengambil waktu itu . Keputusan yang perlu pas tidak ada ruangan untuk kekeliruan. Karena, satu kali lagi, salah karena itu selama-lamanya saya tidak dapat merealisasikan kemauanku untuk rasakan kemolekkan badan Aida.
“Da, sorry, ditutup dahulu, sorry mas tidak menyengaja melihat,” opsi style gentleman yang pada akhirnya saya tentukan, walau opsi ini masih tetap memiliki kandungan risiko.
Saya mengubah tubuh berpura-pura tidak ingin menyaksikan panorama yang tersodor kepadaku tersebut. Trick lama yang masih lumayan hebat.
Aida gelagapan dengar kata-kataku. Bantal, selimut semua dia ambil sampai badannya tertutup prima. Saya menanti dia bereaksi atas perlakuanku.
“Aduh…malu,” Aida tutup wajahnya dengan bantal sekalian membuat perlindungan dadanya dengan tangan.
“Sorry, Da. Saya tidak menyengaja,”
Sesaat saya kebingungan. Aida tutup wajahnya kembali. Ini kali saya yang ambil ide.
“Sudah lah Da, saya meminta maaf. Kamu tidak perlu malu, bagus kok, sangat indah, jauh dari malu-maluin,”
Dalam hati, saya terus berikan motivasi diri untuk berani membujuk Aida. Kemaluanku makin menegang menyaksikan reaksi Aida.
Tidak diduga, dia justru tersenyum dan menyikapi ‘kecelakaan’ barusan dengan gurau.
“Ih…gombal,” sahut Aida tetap tutupi wajahnya.
Saya membulatkan tekad untuk merapat. Dengan mengingsut ke samping tempat tidur, saya dekati Aida. Di bibirnya tetap tersungging senyuman. Walau samping hidung sampai mata tertutup bantal, Aida kelihatan manis sekali. Rasanya jika ingat tingkah laku Eri, saya cuma dapat mencaci-maki dalam hati:
“Eri…Eri, cewe secakep ini kok disia-siain…”
Saya tahu benar tingkah laku Eri, bahkan juga sejak kuliah. Mahfum, saat itu saya “kontrak” di tempat tinggalnya di teritori Ciumbuleuit, Bandung. Eri memang minta saya tinggal dengannya di dalam rumah yang mempunyai tiga kamar tersebut. Teman dekatku itu meminta saya tempati kamar atas yang besarnya nyaris sama dengan kamarnya. Tetapi, saya berusaha sadar diri. Telah diberi tinggal gratis, kok sepertinya lebih patut kita pilih yang cukupan saja . Maka, pada akhirnya saya tempati ruang tamu di bawah.
Selainnya di universitas, di dalam rumah tersebut saya, Eri, dan Aida kerap berunding. Selainnya kami, beberapa teman satu saluran di universitas kerap bergabung di dalam rumah Eri. Selainnya jaraknya tidak lebih dari 2 km dari gerbang universitas, ruangan tamu rumah Eri cukup representatif untuk melangsungkan rapat-rapat kecil. Saya dan Eri memang aktif di universitas semenjak semester pertama. Pucuknya waktu angkatan Aida masuk, saat saya jadi ketua Senat (saat ini Tubuh Eksekutif Mahasiswa).
Tetapi, rumah itu bukan hanya saksi aktivitas positif kami sebagai anak muda. Di dalam rumah tersebut Eri selalu melepaskan birahinya pada wanita. Aduh, jika diminta hitung, saya rasanya tidak mampu. Benar-benar, rasanya tidak ada ayam universitas yang sebelumnya tidak pernah dibawa Eri ke rumah. Sejumlah salah satunya bahkan juga terkejut saat mengetahui saya ada di situ , dan sebagian dari mereka cukup saya mengenal baik dan saya baru mengetahui mereka itu ayam universitas sesudah dibawa Eri.
Nach, umumnya, Eri pinjam kamarku untuk mengolah ayam-ayam tersebut. Argumennya gampang, semata-mata untuk keamanan, jika mendadak Aida tiba. Aida dapat segera saya giring ke kamar Eri dan saya tinggal ke kamarku memberitahu Eri. Itu gagasannya, meskipun pada realitanya cuma sebelumnya sempat sekali Aida ada saat Eri sedang dengan ayam universitas di kamarku. saya masih ingat, wanita itu namanya Ita, dan ia rekan satu angkatan Aida. Sampai Aida pulang, Ita saya melarang keluar kamar.
Di dalam rumah itu Aida memberikan keperawanannya ke Eri. Dapat disebut, saya ialah saksi hidup jalinan mereka. saya tahu benar peristiwanya yakni saat mereka rayakan sebulan pacaran. Sedikit suara yang didengar di luar kamar terkecuali suara ketukan tempat tidur yang bersinggungan dengan tembok.
“Hayo…! Ingin ngapain deket-deket…”
Suara Aida membubarkan lamunan kenanganku dengan istana saya dan Eri di Bandung. Saya tersenyum dengar suara Aida yang tidak tutupi wajahnya kembali.
“Tidak, memang tidak bisa deket-deket…?”
Jari putih Aida mencubit lenganku gaungs. Kami berdua ketawa dan tawa renyahnya malah membuat nafsuku menaik.
“Mas, jujur nih, Mas Eri saja tidak pernah tuch ngingetin saya seperti gitu…Dia cuek saja tuch kalau saya pakai pakaian ketat…”
Ini kali suara suara Aida cukup serius walau dibibirnya tetap tersungging senyum. Aida mengubah tubuhnya dan telungkup di atas tempat tidur sekalian melihat saya. Dalam hati, saya berikan motivasi lagi diri jika berikut waktu yang akurat. Jika ingin, jangan diundur-tunda kembali. Esok, di antara saya dan Aida dapat lain kembali ceritanya dan saya harus mengawali kembali dari 0.
Saya membulatkan tekad membelai rambutnya. Ini bukanlah sikap aneh di antara saya dan Aida. Sejak kuliah, saya memanglah lebih memandang dianya sebagai adik. Dia memang pacaran dengan Eri, tetapi masalah bermanja-manja, Aida semakin dapat ke saya. Aida bereaksi positif akan belaianku, bahkan juga tanganku dipeluknya.
“Kamu kan telah seperti adik untuk aku, Da. Tetapi, melihat seperti barusan, masih tetap saja saya terkejut.” Saya diam sesaat menanti reaksinya. Aida kembali tersenyum, sekalian dekap tanganku lebih keras.
“Tetapi, sebagai lelaki, saya tidak ingin munafik. Kalau ditanyakan konak apa tidak, ya terang saja konak…”
Aida langsung melepaskan tanganku. Inilah peristiwa yang mencekam. Jika tidak sukai, tentu wajahnya langsung cemberut dan mengubah tubuh. Jika demikian, telah, semua usahaku tentu ambles. Tetapi, Aida justru ketawa dan menjambak rambutku.
“Terus penginnya apa? Saya pakai pakaian komplet ketutup rapet?” tetap dengan suara guraunya yang fresh.
“Ya tidak lah…, dibuka tidak papah asal tidak malu…,”
Kami berdua ketawa dan saat itu juga sama stop dengan mata sama-sama melihat tajam. saya percaya Aida sudah baca kemauanku semenjak tadi siang saat pertama menyaksikan ia kenakan tank hebat ketat yang membuat payudaranya menyembul, melawan tiap mata lelaki. Dari sorot matanya saya menebak yang berada di pikirannya.
Benar-benar, ini kali saya berusaha yakin pada keyakinanku, walau hati takut masih tetap saya merasai. Baru saya berpikiran harus melakukan perbuatan apa hadapi peristiwa birahi semacam itu, mendadak Aida tarik tangan saya sampai dekati dianya. Ke-2 pipiku digenggamnya ke-2 tangannya dan saat itu juga saya terkejut saat bibir kami telah sama-sama bersinggungan.
Kecupan kami berasa halus. Sampai saat sama-sama sudah basah oleh air liur, Aida melepaskannya. Tangannya tetap memegang ke-2 pipiku.
“Ingin merasakan megang?” suaranya nyaris seperti berbisik yang saya menyambut dengan anggukan perlahan.
“Boleh…?” saya mengganti menanyakan.
Ini kali Aida tidak menggangguk, dia kembali telentang dan menuntun tanganku ke atas dadanya.
“Yang lembut ya Mas….” kembali bisikannya kedengar di telingaku.
Entahlah kesan apa yang saya merasai. Rasanya seperti terbang saat tanganku tegas rasakan permukaan dada yang dihias dua gumpalan lunak memiliki ukuran besar itu, yang memiliki ukuran di atas rerata wanita Indonesia. Waktu ada di pucuknya, berasa benjolan membelai telapak tanganku. Aida tersenyum dan biarkan saya menelusuri semua permukaan payudaranya. Kadang-kadang dia arahkan tangannya dengan pergerakannya yang dia harapkan.
Benar-benar, senang sekali rasanya dapat rasakan payudara besar yang telah membuat saya panas dingin semenjak pertama menyaksikan Aida sekitaran sepuluh tahun kemarin. Sangkaan yang dahulu aku bikin tanpa sebelumnya pernah terkata, yakni punyai Aida tentu kuat dan berwujud asli melawan prima rupanya betul saat saya meremasnya perlahan. Bila dahulu saya cuma dapat melihat kecut benda yang tersamar bra itu, sekarang saya dapat terang rasakan dan meraba-raba keadaan aslinya. Bentuk payudara Aida hampir sama dengan memiliki bentuk saat tersangga bra (yang saya tidak tahu benar berapakah ukuran).
Selanjutnya aksiku ditambahkan satu kali lagi kecupan di bibirnya. Sekalian terus memagut dan meremas, saya menarik Aida untuk bangun. Aida tidak menantang dan mengikuti tekadku. Dia duduk disebelah tempat tidur dan loloskan t-shirt yang saya gunakan. Hal yang juga sama saya kerjakan. kaus kendur tanpa lengan yang cuma mampu tutupi pusar berbahan katun itu saya angkat melalui lehernya. Birahiku semakin tidak teratasi melihat panorama di hadapanku, yakni Aida polos tinggal menggunakan underwear putih berenda di depanku. Pada payudaranya, saya mulai sedikit kasar dengan menambahkan penekanan remasan. Aida kelihatan suka dengan tindakanku tersebut. Napasnya jadi tidak teratur tiap saya meremas payudaranya dan meraba-raba nipplesnya yang warna coklat muda.
Deskripsi teman dekatku mengenai istrinya yang suka menggenggam kemaluan suami saat mereka bercumbu, bisa dibuktikan. Tanpa disuruh, Aida telah menyisipkan tangannya ke celana pendek yang saya gunakan. tangannya yang hangat berasa di sekujur permukaan tangkai kemaluanku yang telah menegang.
“Bisa dibuka…? Ingin simak,” Saya menggangguk dan menolongnya merosotkan celana berikut celana dalam yang saya gunakan.
Mukanya senang menyaksikan kemaluanku menyembul keras dan tanpa dikomando lidahnya mulai menjilat-jilati semua permukaan tangkai yang mengeras tersebut. Uh…nikmatnya, rasanya s*****it. Harapanku cuma ingin dapat rasakan payudara yang lebih besar tersebut. Apa daya rupanya yang kudapat lebih dari tersebut. Benar-benar, waktu itu saya masih sangsi untuk melanjutkan aktivitas kami itu sampai ke pucuk jalinan lelaki dan wanita. Apalagi saat saya telah rasakan kuluman Aida di kemaluanku yang rasanya tidak ada tara tersebut. Memanglah tidak mencapai puncak, tetapi jika waktu itu kami setuju hentikan semua, saya benar-benar telah merasa senang lebih dari cukup.
Tetapi, kelihatannya tidak ada pertanda Aida ingin stop. Usai Aida mengulum, kami tiduran di tempat tidur dan mengganti saya mulai menjilat-jilati payudaranya. Bahkan juga selanjutnya Aida merosotkan sendiri celana dalamnya yang membuat kami telah betul-betul telanjang bundar seperti sepasang anak manusia yang siap berperang raih cantiknya kepuasan dunia.
Perlahan-lahan keyakinanku makin kuat bersamaan jari dan lidahku yang mulai main di wilayah kewanitaan Aida. Wanita yang tubuhnya terurus berkulit putih mulus ini menggeliat luar biasa saat lidahku sentuh kemaluannya. Pahanya mati-matian menyokong lonjakan-lonjakan rasa nikmat yang makin lama makin meninggi. Hingga kemudian bokongnya terhempas keras ke tempat tidur berkali-kali. Tangannya meremas-remas sendiri payudaranya dan menarik saya ke atas.
“Sekarang ini..Da…?” pintaku untuk izinnya menerobos lubang kepunyaannya.
“Iya mas…, sekarang…,” jawabannya sekalian mencium bibirku dengan keras.
Tidak ada alternatif lain, tanpa perlu dituntun, batangku telah ke arah lubang yang tertutup rapat gumpalan daging tersebut. Perlahan-lahan, dan berkali-kali, batangku segera masuk hingga kemudian prima ketelan badan Aida melalui vaginanya yang dirasa simak.
Airmata Aida menetes, tetapi dibibirnya masih tetap ada senyum.
“…Da…, mengapa?”
Aida menggelengkan kepalanya, dia mendekapku makin kuat bersamaan pergerakan yang makin cepat. Matanya terpejam seperti ingin rasakan kesan yang mengucur dari dalam lubang vaginanya ke sekujur badan. Kadang-kadang bibirnya kukecup yang selalu dia menyambut. Di sini, saya baru mengetahui jika Aida bukan type wanita yang bising waktu bercinta. Cuma erangan kurang kuat yang kadang-kadang saya dengar. Kalaulah waktu itu dia keluarkan suara yang keras, saya tidak perduli. Kamar di Hotel Le Meridien ini kuyakini sangat memprioritaskan privacy tamunya.
Benar-benar, jika bisa jujur, berikut pengalaman terluar biasa yang saya merasai. Cuma melepaskan dengan kekasih dan sejumlah pelacur, baru ini kali saya rasakan nikmat sepenuhnya bercinta sama perempuan. Sepanjang yang saya tahu, Aida tidak punyai pengalaman dengan lelaki selainnya Eri. Sampai mereka menikah sekitaran sembilan bulan kemarin, saya tahu mereka benar-benar aktif dalam bercinta. Menurut Eri, tidak ada satu juga wanita yang dulu pernah dia setubuhi yang dapat menyamakan Aida. Dan ini dianggap Eri sebagai argumen khusus dia tidak dapat melepas pacarnya yang telah dia peristri ini.
Dan, pernyataan Eri itu sekarang saya rasa sendiri. Aida memahami benar harus melakukan perbuatan apa supaya kami sama rasakan kepuasan. Kadang-kadang saya rasakan vaginanya kontraksi, kontraksi yang menyengaja dia kerjakan. Pinggulnya bergerak meng ikuti irama yang saya kerjakan, cocok. Saat orgasme telah merapat, Aida makin keras dekap badanku. Dan cocok saat dia sukses mencapainya, kakinya meredam pinggulku supaya stop bergerak. Kembali lagi saya terpana karena baru kali itu saya dapat rasakan kontraksi lubang vagina wanita saat orgasme, betul-betul tidak dapat digambarkan kata-kata.
Begitu juga saat tahu saya telah dekati pucuk. Aida mendekapku dan menciumi bibirku sedikit liar. Dan, saat saya menekan keras kemaluannya yang membuat batangku tenggelam dalam lubang vaginanya, dia silangkan kaki sambil menjepit pinggangku. Benar-benar, tidak cuma muncratan yang dirasa keluar ujung tangkai kemaluanku tetapi juga pijatan dinding lubang vagina yang membuat saya mengeluh keras. Ini pertamanya kali saya ejakulasi sekalian tidak dapat meredam erangan, karena rasakan kepuasan yang hebat.
Saya melafalkanng seringkali saat sebelum terkulai lemas, sesaat seperti tidak dapat bergerak. Disini belaian hangat wanita saya rasa melalui jari Aida. Dia biarkan saya menindih badannya dan merengkuhku. Jarinya menyeka punggungku halus. Aida nampaknya memahami saya barusan melepas kepuasan yang hebat. Penantian dan rasa ingin tahu sepanjang 10 tahun yang pada akhirnya dapat saya capai. Penantian agar dapat rasakan belaian sayang wanita yang saya kagumi dari dahulu. Sepintas, tebersit penyesalan mengapa dahulu saya putuskan undur saat tahu Eri terpikat pada Aida. Seandainya saat itu saya memilih untuk bertanding dengan teman dekatku itu, mungkin saya yang dapat tiap hari rasakan kepuasan semacam ini.
“Mas…,” Bisikan-bisikan Aida menyadarkanku dari lamunan, “puas…?”
Saya cuma dapat menggangguk kurang kuat sekalian terus pejamkan mata. Rasanya tidak mau tinggalkan kepuasan yang baru saya rasa tersebut.
“…Da,…”
Aida menanti apa yang hendak saya ucapkan. Kalimat yang tidak pernah usai karena saya sendiri kebingungan ingin menjelaskan apa padanya.
“…kenapa Mas?”
Cuma gelengan dan senyum dengan mata tetap terpejam yang dapat saya beri. Kepala ini rasanya tidak mau lepas rasakan empuknya dua bukit di dada Aida. Dia mengelus lagi punggungku. Embusan napasnya berasa kuat di bahuku. Di bibirnya tersungging senyum.
Lima menit lebih kami sama-sama berangkulan semacam itu sampai akhinya saya memaksa diri untuk bangun. Dalam sikap duduk di seginya, saya melihati muka Aida. Satu kali lagi, dia menyongsong pandanganku dengan senyum. Untuk sesaat kami tidak berbicara. Hingga kemudian Aida buka perbincangan.
“Mas…, mas edan deh…,” ucapnya sekalian menggerakkan dahiku dengan telunjuknya.
“Edan mengapa?”
“Bini orang disikat juga…,” bisiknya di ikuti senyum.
“Setelah, bini orangnya yang mulai duluan…,” saya menjawab tidak ingin kalah set.
“Yeee…, kalau tidak dipancing tidak mau…,” ini kali cubitan landing di dadaku.
“Aww, mas balas cubit nih…, di dada,” candaku.
“Ih…, dasar…!”
Tawa kami juga berderai. Situasi mencair lagi seperti sebelumnya tak lagi diselimuti birahi di antara dua manusia berbeda tipe. Aida minta saya duduk ada berada di belakangnya bertumpu pada kepala tempat tidur dan melingkarkan tanganku di perutnya. Percakapan juga bersambung, kembali seperti saat kami temu barusan pagi di lobby hotel tempatnya bermalam di Kuala Lumpur ini. Perbedaannya, ini kali tidak ada rintangan yang batasi kami. Jika awalnya ada seperti gorden yang dengan tegas batasi posisi kami, sekarang semua musnah dan kami tidak ubahnya sepasang pacar yang memadu cinta. Suara suara kami juga sedikit berlainan, karena ini kali berasa lebih mesra. Baca : Cerita Dewasa Riil Terkini 2018 Kekeliruan Yang Cantik
“Kita habiskan beberapa hari esok semacam ini Da? Saat di KL?”
Tangannya menyeka pipiku di ikuti ciuman hangat bibirnya.
“Pinginnya demikian. Aida ingin lupakan Jakarta dahulu termasuk Mas Eri…”
Duh, saat itu juga ada rasa cemburu dalam diriku. Ya, Aida masih punya Eri, tetapi tidak ada yang dapat saya kerjakan secara status tersebut.
“Mas pinginnya lupakan Dina dahulu kan…?”
Ah, pertanyaan yang sebenarnya benar-benar tidak saya harapkan keluar mulut Aida. Benar-benar sekarang ini saya benar-benar tidak pikirkan Dina, kekasihku, karena ingin keseluruhan rasakan kemesraan dengan Aida.
“Iya…, mas sich saat ini taunya cuma Aida cinta mas Adri saat di sini. Mas pinginnya rasakan terus cinta Aida seperti sekarang…,” Ooops, mendadak saya terkejut sendiri kalimat semacam itu melaju dari mulutku.
Dalam hati saya ketawa sendiri, baru ini kali saya dapat gombal sama wanita.
“Ih…, cinta-cintaan, seperti orang berpacaran saja,” sahut Aida ini kali mencubit lenganku.
“kira saja kita saat ini kekasihan…” timpalku datar.
Aida kembali dan sama seperti yang saya telah terka, dia tidak menampik saat saya mencium bibirnya. Kecupan penuh kehangatan cinta yang sebenarnya ikhlas saya beri, bukan hanya gairah semata.
Aida, cinta sejatiku, yang sebelumnya tidak pernah dapat saya punyai seutuhnya…
Comments are closed.