Narasi Seks Asli 2018 Bagaimana? Mas Danu menanyakan. Saya geleng-geleng sendu, “Negatif, Mas.” air mata mengucur dipelupuk mataku. Saya mulai terisak. “Oh, biarlah.” bibir Mas Danu bergerak lagi, melipurku. “Kita berusaha kembali lebih keras, ok?” ia mengecup keningku. Tangannya melingkar, merangkul badan sintalku pada sebuah dekapan, dan merengkuhku kuat.
Cersex Selingkuh – Saya menggangguk, tetapi masih tetap terisak. Kusandarkan kepalaku di dadanya yang sektor. Kukecup mesra bibir mas Danu sebagai rasa terima kasihku karena ia telah sabar, benar-benar sabar justru, karena pada usia perkawinan kami yang mencapai dua tahun, saya masih tidak dapat memberikannya turunan. “Siap?” saya menanyakan.
Mas Danu menggangguk. Mukanya tidak dapat diterka. Tetapi semangatku sesaat, karena tiba-tiba suamiku tundukkan mukanya dan geleng-geleng, bibirnya kembali terkatup rapat sesudah sebentar barusan sebelumnya sempat bergerak. Kebisuan yang ganjil secara cepat tersebar antara kami.
“Mari, ucapnya sudah siap?” tagihku menyaksikan rumah tinggalnya.
Bibir mas Danu bergerak kembali -gerak… lantas kembali lagi termenung. Saya menjadi geregetan menyaksikannya.
“A-aku tidak dapat,” ia geleng-geleng.
“Mengapa?” suaraku gaungs.
“Tidak konsentrasi.” kilahnya pendek.
“Tidak konsentrasi apa tidak dapat?”
Mas Danu diam kembali. Lantas,
“Tidak dapat konsentrasi.”
Hah?
“Coba dahulu, mas. Satu-persatu.” Saya sedikit memaksakan.
Mulut mas Danu kembali terbuka. Dengan ingin tahu saya mananti kalimat apa yang hendak keluar disana.
Narasi Seks Hot: Indri Si Pencinta
Satu detik… dua… tiga… empat… bahkan juga sampai 1 menit berakhir, saya tidak dengar apapun.
Ugh!
“Maaf, sayang. Mungkin lain waktu.” ia menghindari.
Saya menghela napas panjang. Susah sekali bersabar dari rahasia yang ingin diutarakan mas Danu. Rahasia yang ucapnya diletakkannya lumayan lama. Saya baru ketahuinya tiga minggu lalu, saat mendadak ia menjelaskannya kepadaku setelah kami bercinta dengan panas. Dan tiap kutanyakan kembali, dia cuma katakan: ‘kapan-kapan saja, nantikan tanggal bermainnya. Membuat saya semakin ingin tahu. Seringkali, seperti baru saja, dia kelihatan siap mengutarakan rahasianya. Tetapi kembali lagi gagal.
“Ingin ke mana, sayang?” kejar lelaki itu saat melihatku bangkit dari tempat tidur.
“Ke belakang. Ingin mandi !”
Mas Danu diam, mungkin ia mengetahui kekecewaan dalam kalimatku yang cukup galak.
Rahasia itu terus mengelitikku, memikat saraf-sarafku. Entahlah mengapa juga, mas Danu selalu grogi dan pada akhirnya tidak berhasil untuk memberitahukanku. Awalannya saya berusaha untuk bersabar, berusaha tenang, dan terus memberikannya waktu. Namun, sesudah beberapa hari berakhir tidak ada hasil, terakhir saya mulai kuatir. Jangan-jangan… lantas serentetan pertanyaan bersuara cemas seorang istri keluar tidak dapat ditahan.
“Mas lakukan kejahatan? Mencuri atau membunuh untuk ongkos kawin?”
Mas Danu ketawa dan mencubit pipiku.
“Tidak, Sayang. Bukan tersebut. ”
“Mas sebelumnya pernah tunangan awalnya?”
Ia lagi ketawa dan geleng-geleng cepat.
“Tidak.”
“Lantas apa, mas?” saya mulai kehilangan kesabaran.
“Kamu tidak geram jika mas terang-terangan.” Mas Danu tundukkan muka, menekuri payudara bulatku yang terpajang terang di depannya.
Kami memang baru mandi bersama waktu itu, badan kami masih sama telanjang.
Itil V3
“Mas punyai istri lain saat sebelum saya?” saya berbicara lirih, takut dengar jawaban ‘iya’ dari mulutnya.
“Tidak.”
Ah, saya bernafas lega.
“Mas serong?” saya menanyakan kembali.
Ia mendelik. “Saya menyukaimu, sayang. Saya mustahil melakukan.” Suaranya tegas dan serius.
“AH, iya, maaf.” potongku cepat. Situasi mulai tidak sedap. Saya mengelus kembali -elus penis hitam mas
Danu yang sejak dari barusan ada dalam genggamanku, mengharap benda panjang itu dapat cairkan kekakuan antara kami berdua.
“Euhhh,” lenguh mas Danu lirih.
Ia akan mencium bibirku saat saya melemparkan pertanyaan itu,
“Mas kawin kembali?”
Cukup 3 kata, dan amarahnya langsung mencapai puncak. Ia bangun dan berakhir tanpa kata-kata. Meninggalkanku dengan banyak pertanyaan tambahan, mengapa ia pergi sesudah pertanyaanku baru saja? Apakah benar itu rahasia suamiku?
“Karena mungkin kamu belum mempunyai anak, In!” tegas Sita, wanita elok memiliki badan subur sebagai tetangga sekalian rekan pertama kaliku saat berpindah ke perumahan elit ini.
“Semudah itu kah?” saya tidak ingin yakin demikian saja.
Sita ketawa, membuat payudaranya yang lebih besar bergoyang-goyang cantik ke sana-kemari. “Justru ada lebih mudah,” sahutnya. “Telah mempunyai anak selusin masih ingin kawin .”
“Tapi…” saya tidak dapat melanjutkan kalimatku. Saya coba pikirkan beberapa sikap mas Danu belakangan ini, mungkinkah ada peralihan yang lepas dari pandangan mataku?
Sikap diamku membuat Sita menanyakan,
“Mengapa, In?”
Saya geleng-geleng,
“Mas Danu telah merendam rahasia ini semenjak 2 bulan pernikahan.” lirihku.
“Nach lho!” Sita menjerit kecil, tetapi cepat-cepat meralat demikian menyaksikan kegelisahanku.
“Tetapi kelihatannya suamimu bukan type semacam itu dech. Ia terlihat baik. Selalu pulang kan setiap malam?”
Aduh, saya memukuil dahiku sendiri. Mengapa sejauh ini saya tidak berprasangka buruk.
“D-dia kerap keluar kota bersama bosnya.”
“Cewek apa cowok?” Sita menanyakan.
“Apanya?” saya tidak memahami.
“Bosnya itu?” sahut Sita.
“C-cewek.” suaraku tergetar. “Dan cukup elok.” saya manambahkan.
“Wah, genting jika demikian.” Sita merinding.
“Harus diselidik betulan keluar kota apa tidak?” Air mata telah menggenang di pelupuk mataku saat Sita cepat-cepat menambah, “Tetapi saya dapat menolongmu.”
“Bagaimana triknya?” saya menanyakan kebingungan, pasrah saja dengan yang dia akan ucapkan seterusnya.
“Begini…” Sita berbisik di telingaku.
“Ah, saat harus demikian. Tidak mau ah!” saya geleng-geleng, menampik gagasan Sita yang ngawur.
“Cuma ini salah satu langkah supaya kamu hamil.” Sita memberikan keyakinan.
“Ah, tidak ah.” saya tetap berkeberatan.
“Sedang pikirkan saja dahulu.” Sita berdiri. “Siapa yang tahu, sebelumnya dilakukan, kamu telah hamil lebih dulu.”
“Iya, saya lebih sukai semacam itu.” kuantar ia yang jalan keluar ruang.
“Berusaha terus ya, jangan putus asa!” pesennya saat sebelum pergi.
“Oke.” saya mengedipkan mata sebagai pertanda memahami.
Tetapi sampai 2 bulan berakhir, masih tidak ada pertanda janin akan bersemayam di rahimku. Saya bersedih dan tersuruk. Apalagi sesudah ketahui mas Danu yang belakangan ini makin kerap pekerjaan ke luar kota. Ia semakin banyak temani bosnya dibanding istrinya sendiri. Jika ini terus, tidak mungkin saya dapat hamil. Kembali kutemui Sita untuk mengeluh masalahku.
“Jika ini terus, saya tidak pernah dapat hamil, Sit. Bertemu saja hanya 3x satu bulan.”
“Agar 3x, tetapi jika dimaksimalkan, mungkin juga bisa. Kalian sama subur kan?” ia menanyakan.
Saya menggangguk menyetujui.
“Tetapi mas Danu umumnya telah capek lebih dulu.”
“Tujuanmu?” Sita tertarik.
“Ya begitu dech.” saya terang-terangan.
“Bahkan juga saat ini, telah dua minggu saya tidak bisa porsi.”
“Hah! Ya mana dapat hamil jika begitu.” Sita mencela.
“Semestinya kalian manfaatkan tiap hari liburan itu secara baik.”
“Saya maunya pun demikian, Sit. Tetapi mas Danu-nya yang susah.” bahuku melorot lemas.
“Tawaranku yang tempo hari tetap berlaku lho.” ia berbisik.
“Yang mana?” saya menanyakan, entahlah mengapa, ikut-ikutan berbisik.
“Yang bergurau itu!” sahutnya sekalian nyengir.
“Edan kamu.” kucubit hidungnya. “Kupikir hanya bergurau.”
“Lho, memang kamu ingin jika betulan?” ia memasangkan muka bloon.
“Ooo, dasar bocah edan!” kulempar bantal yang dari barusan kupeluk ke wajahnya.
“Bagaimana, Nduk, belum juga isi ?”
Mertuaku tiba bertandang, dan seperti umumnya, ia segera mengancamku dengan pertanyaan yang ia sendiri tahu jawabnya.
“Masih usaha, Ma.” saya mengelak.
“Sejak dahulu beberapa usaha tidak ada hasilnya. Mbok ya ditukar langkah lainnya.” ia menyinyir.
“ke dukun kek, atau ikut-ikutan bayi tabung. Mama ini telah tua, Nduk, telah ingin gendong cucu.”
Saya mendesah mengelus dada, selalu argumen yang masih sama, dan selalu dapat membuatku menangis dalam hati.
“Mungkin memanglah belum rezekinya, Ma.” lirihku.
“Lha terus kapan, ingin tunggu Mama mati baru punyai anak?” potongnya cepat.
Untuk ini, saya tidak dapat menjawab.
“Ya sudah, Mama pulang dahulu. Berikan salamku pada suamimu.” ia berdiri dan bergerak tinggalkan rumahku.
Kuantar wanita tua itu sampai ke pintu depan. “Berhati-hati, Ma.” kucium pipinya kutunggu sampai mobilnya lenyap di ujung gang.
Dalam kamar, saya menangis tersedu-sedu. Kusesali nasibku yang malang ini, sampai dua tahun pernikahan, masih belum sempat dianugerahi anak. Bukan ia yang inginkan seorang bayi.
“Saya inginkannya, Ma.” teriakku perlahan pada bantal yang telah setengah basah.
Dengan mata sembab, kuangkat telephone yang berdering kuat di ruangan tengah. Telah jam 10 malam, tetapi mas Danu belum pulang . Kelihatannya malam hari ini, saya harus tidur sendiri kembali.
“Halo?”
Rupanya dari Sita,
“Kembali apa, In?” kedengar suara cempreng bocah itu di seberang sana.
“Kembali di dalam rumah. Kembali bengong-bengong habis nangis.” sahutku dengan suara serak.
“Hah?” Sita langsung terkejut. “Memang ada apakah? ”
Aku juga menceritakan panjang lebar mengenai lawatan mertuaku baru saja, ucapannya yang pedas,
“Sesudah kupertimbangkan, kelihatannya, saya harus terima tawaranmu, Sit.” lirihku.
“Hah, apakah benar?” Sita kedengar semangat, tidak dapat tutupi kegembiraanya.
“Iya,” saya menyetujui. “Saya telah ingin punyai anak sekali, Sit. Saya telah kebingungan harus bagaimana kembali.”
“Saya tahu, In. Terus suamimu bagaimana, apa kelak ia tidak berprasangka buruk?” bertanya Sita.
“Biarin saja,” saya jengkel jika ingat mas Danu yang belakangan ini makin jarang-jarang pulang. “Hitung-hitung sebagai bukti jika saya dapat hamil.”
Sita ketawa.
“Okelah jika demikian. Saya jamin dech, selainnya dapat anak, kamu pasti akan sedap.” promo-nya.
“Heh, sedap saja.” potongku cepat. “Sapa katakan saya ingin ML? Saya kan hanya perlu sperma saja. Tidak bermakna harus bermain seks.” protesku.
“Hah, menjadi tidak nge-sex?” Sita kedengar ketidaktahuan. “Lha terus bagaimana, memang spermanya ingin kamu minum?” ia menanyakan.
“Dituangin kan dapat,” saya berbicara. “Atau dikocrotin di muka memek saya.”
“Hush, porno ah perkataan lu.” Sita ketawa kembali.
“Mari, Sit. Bagaimana, dapat tidak?” saya sedikit memaksakan.
“Emm, bagaimana ya?”ia terlihat berpikiran. “Tetapi kamu tetep telanjang kan?” tanyanya selanjutnya.
Nach lo! Saat ini mengganti saya yang berpikiran.
“Minimum kamu masih ingin dipegang-pegang, begitu.” Sita memberikan persyaratan.
Menghela napas berat, saya pada akhirnya menyetujui penawarannya.
“Iya dech. Asal tidak ada penetratif, semua bisa.” Tetapi ia memang betul, jika tidak telanjang atau bersinggungan, mana dapat saya kelak dapat sperma.
Minimum saya harus memikat lelaki itu dengan badanku yang sintal ini.
“Okelah jika demikian. Kukabari kembali esok pagi, dapat apa nggaknya. Oke, In?” bertanya Sita saat sebelum tutup teleponnya.
“Upayakan ya, masalahnya saya sudah tidak kerasan dengar omelan mertuaku.”
Sita tersenyum bersedia dan tutup teleponnya, tinggalkan saya sendiri pada malam yang gelap dan dingin ini.
“Saya kelak bermalam di dalam rumah Sita, mas.” ujarku sekalian bersihkan lelehan sperma mas Danu yang melekat di selangkanganku.
“Mengapa?” ia menanyakan tanpa melihat, terlihat repot mengatur bajunya yang sedikit berantakan.
Sementara burungnya yang terkulai lemas, menggantung memilukan di luar celananya.
Saya raih benda kerutan itu dan mengelus-elusnya perlahan. Kubersihkan beberapa sisa spermanya yang tetap menetes-netes dengan menjilat-jilatinya halus.
“Jangan!” mas Danu larang saat saya ingin mengulumnya.
“Sesaat lagi saja, mas.” saya merajuk dan mencaplok penis tersebut.
Tetapi mas Danu menarik cepat penisnya, “Saya telah telat, sayang.” dan cepat-cepat memasukkan lagi ke celananya.
“Mas pergi dahulu ya.” Ia mengecup perlahan keningku dan selekasnya berakhir ke taxi berlangganan yang telah menanti di muka rumah.
Huh! Saya mendengus kecewa. Kembali lagi ini. Mana dapat saya hamil jika ini terus. Mas Danu baru pulang pagi hari barusan, dan secara langsung tidur. Saat ini ia telah pergi kembali. Ucapnya tiga hari baru kembali. Jika tidak kupaksa, mungkin setelah makan pagi barusan ia pun tidak akan menyentuhku.
Bagaimana dapat spermanya berjumpa dengan sel telurku, jika bercinta saja Patas, paket kilat 2 menit. Saya belum apapun, ia telah moncrot lebih dulu. Argumennya, karena dicari waktu, pesawatnya yang ditumpanginya akan terbang sesaat lagi. Huh dasar! Membuat gondok saja. Dengan sedih, saya pergi ke kamar mandi untuk bersihkan diri.
Jam 8 malam…
“Mama ada, Dek?” saya menanyakan pada remaja tanggung yang asyik mempreteli motor dalam garasi rumah Sita.
“Dalam, Tante.” jawab anak itu tanpa melihat.
Tante! Memang saya telah setua itu ya? Punyai anak saja belum, telah diundang Tante.
“Kata mama, Tante langsung diminta masuk saja. Telah dinanti dari barusan.” lanjut anak itu dengan kepala masih tetap merunduk menekuri mesin motornya.
Tante kembali! Membuat saya keki saja. Apalagi ia tidak ingin melihatku sama sekalipun. Awas ya, akan kuberi kamu pelajaran! Batinku dalam hati. Saya mencolek pundak anak itu dan panggilnya,
“Hei, saksikan sini bentar, Dek”
“Apaan sich? Kacaukan saja.” ia menepiskan tanganku.
“Saksikan sini. Bentaaaar saja.” saya mencolek lagi badannya.
Meraung geram karena saya telah mengusik ketenangannya, bocah itu melihat dan berteriak,
“Kacaukan aj…” tetapi teriakannya langsung berhenti demikian menyaksikan apa yang kulakukan.
Di sini, di muka anak itu, kusingkap kaos tipis yang kukenakan. Kupamerkan payudaraku yang bundar membusung pada anak tersebut. Dan saat sebelum ia sebelumnya sempat tersadarkan, saya selekasnya menyikat dan melumat bibirnya dengan rakus. Kuberi ia kecupan panas yang tidak pernah ia melupakan sepanjang umurnya.
“Hmpph! Hah… hah…” bocah itu langsung tersengal-sengal saat saya melepas bibirnya.
“Jangan panggil saya Tante kembali. Memahami?!” bentakku sekalian berakhir meninggalkan.
Bocah itu menggangguk dengan bingung. Ia melihat kepergianku sekalian menyeka-usap bibirnya yang berdarah karena gigitanku. Jalan rileks masuk ruangan tamu, saya tersenyum penuh kemenangan.
Kamar Sita berada di lantai atas. Dengan berdebar saya ke arah ke sana.
Pintunya terlihat tertutup rapat. Nyaris beberapa saat saya berdiri di depannya, menebak jika sekarang ini mungkin teman dekatku itu sedang bercinta dengan suaminya. Tidakkah itu yang disebut Sita di telephone barusan? Anehnya, bayang-bayang itu malah membuat nafsu dalam diriku makin naik-turun. Tidak berasa vaginaku berasa berdenyut dan payudaraku makin mengeras. Saya menjadi ingin melihat mereka.
Menarik napas panjang dan diam diri sebentar, aku juga jalan pelan-pelan dan melihat dari jendela. Saya coba cari sela yang terbuka antara gorden kamar Sita yang tertutup. Benar ada sedikit sela yang masih ada, tetapi tidaklah cukup lebar agar dapat menyaksikan apa yang terjadi dalam sana. Walau samar-samar, dapat kudengar lenguhan panjang dan suara desahan manja yang dikeluarkan oleh Sita. Ingin tahu, aku juga berusaha mendangakkan kepala untuk menyaksikan lebih terang .
Saat tersebut, kedengar ajakan Sita dari dalam kamar. “Nagapain pakai ngintip-ngintip semua, In? Masuk saja langsung. Pintunya tidak kukunci kok.”
Duaar!!! Seperti disikat petir, aku juga termenung dan terdiam karena telah kedapatan.
Kedengar langkah kaki turun dari tempat tidur, dan pintu kamar juga terbuka. Sita berdiri disitu cuma secara berbalutkan handuk hijau yang tipis dan kurang. Wanita itu tidak berusaha tutupi payudaranya yang terbuka, ia biarkan bulatan daging yang lebih besar dan bundar kepunyaannya itu menggantung bebas di dadanya.
“Untuk apa ngintip-ngintip begitu? Mari masuk, saya telah menantimu dari barusan.” undangnya manja.
Saya cuma dapat menelan ludah melihatnya.
“Ah, tidak! Jangan, Sit! Saya malu!” saya berusaha bertahan saat Sita tarik tangan kananku untuk ajak masuk ke kamar.
“Sudah, hayo! Ini kan untuk kebaikanmu .” ia berusaha memberikan keyakinanku.
“Tidak, Sit! Saya malu sama suamimu.”
“Mengapa harus malu? Suamiku justru suka kok dapat menolongmu.”
“Ah, tapi…” entahlah, sesudah sedekat ini, saya justru menjadi sangsi. Saya tidak sampai hati mengkhianati suamiku.
“Ayolah…!” Sita terus memaksakan.
Sesudah lumayan lama sama-sama tarik tangan masing-masing, pada akhirnya aku juga mengalah. Apalagi Sita mengingatiku mengenai teror ibu mertua mengenai kedatangan seorang cucu. Dengarnya, saya menjadi tidak menantang saat Sita menarikku masuk ke kamar.
“Aaakkhh…!” disitu, saya segera melenguh dan tutup mata dengan telapak tangan.
Bagaimana tidak, di atas tempat tidur, kusaksikan seorang lelaki paro baya sedang duduk rileks dengan kenakan kaos tanpa tambahan apapun itu kembali sebagai penutup sisi bawah badannya. Pada bagian selangkangannya, terlihat mengacungkan tegak sebuah tangkai yang memiliki ukuran lumayan besar.
“Halah, style lu, In. Seperti baru pertama kalinya menyaksikan kontol saja, hehehe…” Sita dengan rileksnya menghinaku sekalian tutup pintu kamar.
Mukaku makin memeras dengar ucapannya. Tetapi memang betul apa yang disebutkan teman dekatku tersebut. Saya seringkali menyaksikan penis karena saya telah menikah. Tetapi yang tidak sama ialah, penis yang ada di depanku saat ini memiliki ukuran besar sekali, lain dengan punyai suamiku yang hanya standar saja ukuran. Lagian, ini untuk pertama kali saya menyaksikan kontol bang Irul, suami Sita, menjadi tidak aneh jika saya cukup sedikit terkejut dan berteriak.
Sita dengan rileksnya jalan dekati tempat tidur selanjutnya naik ke atasnya. Dia lantas mencium bibir suaminya sekalian merengkuhnya.
“Ini Indri, Pa. Yang kuceritakan kemarin.”
Bang Irul cuma tersenyum kecil,
“Mari sini, mbak Indri. Tidak perlu malu.”
Sita membalasnya dengan senyum juga. Dikecupnya satu kali lagi bibir si suami, saat sebelum bergerak turun dari tempat tidur dan dekatiku lagi yang tetap berdiri mematung dengan gestur penuh kehampaan.
“Mari donk!” kembali Sita menggeret tanganku, ajak merapat ke arah tempat tidur.
“Ehm, Sit, haruskah…” saya masih sangsi. Terpikir jika saya akan ditiduri oleh lelaki lain selainnya suamiku.
“Ingat, hanya dengan langkah ini kamu dapat dapat anak, In.” Sita mengingati.
Saya sudah bermufakat dengannya akan pinjam bang Irul, suaminya, supaya membuahiku. Dengan demikian saya mengharap akan selekasnya hamil supaya rumah tangga yang baru kubina tidak remuk. Tetapi saat ini, saya justru menjadi sangsi. Serong rupanya benar-benar berat rasanya.
“Mari, In, jangan malu begitu. Kita biasa saja kok…” Sita terus menggerakkan.
“Tetapi, Sit…” saya tetap berat. Malu sekali rasanya. Pikirkan, saya harus bermain dengan bang Irul, dengan dilihat oleh Sita.
Sita menghela napas dan melepas tanganku.
“Bagaimana kalau begini saja. Kamu duduk di sini,” ia menunjuk bangku disebelah tempat tidur.
“dan saksikan bagaimana kita bermain. Jika sudah terangsang, siapa yang tahu kamu kelak ingin.”
Saat sebelum saya sebelumnya sempat menjawab, Sita telah jalan lagi ke arah tempat tidur. Saat sebelum naik, dia melepas handuk yang melilit sisi bawah badan sintalnya. Kelihatanlah sekarang badan montok Sita yang cuma terikat celana dalam putih berenda kembang-kembang pink. Wanita elok tersebut lantas merayap naik ke atas tempat tidur dan merengkuh lagi badan suaminya.
“Lanjut, yok!” bisik Sita manja.
Mereka berdua juga berciuman panas sekalian beradu lidah. Tangan bang Irul dengan gaungs meremas-remas payudara Sita yang montok. Ke-2 nya terlihat demikian nikmati percumbuan itu seakan-akan dalam kamar cuma ada mereka berdua, tanpa mempedulikan kedatanganku disitu. Tidak cuma meremas, sekarang puting payudara kanan Sita telah ada seutuhnya dalam kuluman si suami.
Sita tidak tinggal diam, dia capai tangkai besar bang Irul dan selekasnya dikocaknya cepat, sekencang tangan si suami yang repot mengobok-obok vaginanya yang tetap ditutupi celana dalam. Selangkangan Sita yang pernah sudah basah, sekarang terlihat makin basah.
“Aaahh… Ooooh…” Sita menyengaja mendesah sekuat mungkin sekalian melihat ke arahku yang tetap berdiri di dekat pintu.
“Ooohh… Aaaah…” sekarang ia memasangkan air muka penuh kepuasan seakan-akan nikmati benar kuluman bang Irul di payudaranya dan permainan tangan lelaki itu di selangkangannya.
Sita tersenyum kecil saat melihatku yang mulai terlihat berdiri resah sekalian menggesek-gesekkan ke-2 pahaku.
“Sesaat, Pa. Saya lepas CD ini dahulu.” Sita menggerakkan badan si suami.
Bang Irul juga hentikan remasan tangannya, tetapi tidak kuluman mulutnya.
“Sudah donk, Pa. Stop bentar saja,” Sita menggerakkan lagi, berusaha melepaskan kuluman si suami di pucuk payudaranya yang telah kelihatan disanggupi sejumlah bintik merah muda.
Bang Irul juga menurut, tetapi tidak berarti payudara montok itu dapat terlepas demikian saja. Ketika Sita berusaha memelorotkan celana dalam yang dikenainya, remasan tangan kanan lelaki itu tetap menempati di gundukan daging kenyal wanita itu.
“Ih, papi nakal,” sebut Sita sesudah melempar kain imut penutup selangkannya itu ke kakiku.
Saat ini mengganti ia yang agresif merengkuh badan si suami dan mencium bibir lelaki itu dengan garang. Tidak itu saja, sekarang jari-jari imut Sita dengan bersama dan tekun mengocak-ocok tangkai penis bang Irul yang makin menegang hebat.
Sita seperti menyengaja atur posisi badannya supaya menghadap ke arahku. Sekalian berciuman dan bermain lidah, wanita itu masih tetap intensif kadang-kadang melihat ke arahku. Sekarang, saya tidak sanggup kembali tutupi nafsu birahi yang serang karena menyaksikan live show yang terjadi di hadapanku. Rasa malu dan malu tadi tetap menggelayuti hatiku, sekarang lenyap . Terpindahkan oleh nafsu dan gairah yang sangat benar-benar. Tanganku mulai bergerak meraba-raba payudaraku sendiri, sekalian masih tetap menggesek-gesekkan ke-2 pahaku perlahan-lahan. Senyuman Sita terlihat semakin lebar karena sukses memancing nafsuku.
“Pa, kamu bermain sama Indri dahulu ya, kelak baru dengan aku,” bisiknya dalam telinga si suami.
“Ia kan barusan sudah tidak ingin, Ma.” sahut bang Irul di tengah-tengah remasan tangannya pada payudara si istri.
“Itu kan barusan, kalau sekarang…” Indri melihat ke arahku. Bang Irul melihatku dan tersenyum.
“OK dech, terserah mami saja.” kata lelaki itu pada akhirannya.
Sita juga menolong si suami buka kaosnya hingga sekarang mereka berdua sudah sama telanjang. Setelah mencium bibir lelaki itu, Sita bergerak turun dari tempat tidur dan mendekatiku lagi. Bang Irul sendiri kelihatan ambil posisi tiduran rileks di atas tempat tidur sekalian mengocak penisnya sendiri.
“Mari, In, tuch suamiku siap.” bujuk Sita kembali.
“Tidak ah, Sit.” kembali saya menampik, walau itu hanya di bibir saja.
“Mari donk, jangan menipu diri. Saya tahu kamu saat ini telah horny sekali.” paksa Sita.
“Saya malu dengan kamu, Sit.” lirihku, dengan mata tidak berkedip-kedip melihat kontol besar bang Irul.
“Mengapa perlu malu? Kan saya yang mengajukan usul ini.”
“Iya sich, tapi…”
“Halah, kamu tidak sedap dengan aku ya? , suamiku asyik-asyik saja kok, bahkan juga ia ingin sekali lakukan ini. Telah lama ia ingin rasakan badanmu!” Sita ketawa.
Saya menjadi tidak paham harus berbicara apalagi. Apa yang disebutkan Sita barusan memang betul ada. Cukup dengan kontribusi bang Irul lah saya mengharap dapat punyai turunan. Apalagi sekarang telah dekati tanggal-tanggal signifikan mendekati menstruasi, di mana saya dituntut oleh mertua supaya selekasnya hamil. Tetapi jika wajib melakukannya secara bersetubuh bersama suami Sita, teman dekat baikku sendiri, ini pasti suatu hal yang betul-betul di luar akal sehat. Tetapi demikianlah ada, bahkan juga malah Sita lah yang meminta . Maka, mengapa saya harus menampik?
“Mari, In.” Sita tarik tanganku, dan ini kali saya tidak lakukan perlawanan kembali.
Saat kami telah berdiri di tepi tempat tidur, bang Irul cuma tersenyum kecil ke arahku. Kelihatan jika ia benar-benar kagum pada kecantikan dan keelokan badanku.
“Pa, rangsang Indri sesaat ya!” sebut Sita.
Bang Irul juga berdiri dan dekatiku. Saya sedikit gemetaran saat menyaksikannya, saat seorang lelaki pada kondisi telanjang bundar, perlahan-lahan dekatiku. Tetapi anehnya, saya sebelumnya sempat melihat nakal ke tangkai penis lelaki itu dan menyunggingkan senyuman. Tangkai itu kelihatan demikian besar dan tegang, cukup buat membuatku merinding dan membuat selangkanganku berasa senut-senut. Saya tidak dapat memikirkan merasa sakit apakah yang akan serangku saat tangkai besar itu masuk mengeduk memekku?
“Sit,” kupegang tangan Sita saat bang Irul makin merapat.
“Telah, tenang saja. Kira saja bang Irul itu suami kamu.” Sita meremas tanganku.
“Tetapi, Sit…” belum saya meneruskan kata-kata, bang Irul telah terburu merengkuh badanku dan mencium bibirku. Saya sampai gelagapan dibikinnya, tetapi saya pun tidak menampik bibirnya yang tetap serang bibirku.
Awalannya saya sedikit kikuk, tetapi sesaat selanjutnya, sesudah beberapa menit berakhir, aku juga mulai membalasnya pagutan bibir bang Irul. Apalagi saat selanjutnya kurasakan sentuhan halus jari Sita di bahuku, untuk memberi support, aku juga menjadi tidak malu kembali untuk membalasnya permainan lidah suaminya di mulutku. Saya yang semenjak sebelumnya sudah kebakar gairah birahi, membuat bang Irul tidak butuh terlampau berusaha keras untuk menghidupkan segi liarku.
Sita yang berdiri di belakangku, sekarang mulai meremas-remas payudaraku yang membusung. Selanjutnya dengan cekatan, ke-2 tangannya masuk ke kaosku dan pelan-pelan jarinya bergerak buka hubungan braku yang warna putih. Ia selanjutnya menyisipkan tangannya dan remasannya juga bisa segera bersinggungan dengan kehalusan dan kekenyalan kulit payudaraku.
Terserang dari 2 arah semacam itu membuatku semakin membumbung.
“Aaah… Ooooh…!” tetapi saya hanya dapat melenguh dan mendesah, tanpa mempunyai langkah untuk membalasnya.
Karena sangat terbelenggunya oleh gairah, membuatku benar-benar tidak menantang saat bang Irul membawaku naik ke atas tempat tidur. Bahkan juga karena sangat terbuainya oleh cumbuan lak-laki itu, saya benar-benar tidak mengetahui jika sekarang badan sisi atasku tidak berpenutup kembali. Sita melepaskan kaos berikut BH-ku dan melemparnya demikian saja di lantai, menimbun dengan baju-baju kepunyaannya yang telah lepas semenjak barusan. Ini membuat bang Irul menjadi lebih bebas mengulum dan mengisap ke-2 payudaraku. Walau ukuran tidak sebesar punya istrinya, tetapi ia kelihatan benar-benar menikmatinya.
Saat ke-2 payudaraku telah seutuhnya ada dalam ‘kekuasaan’ bang Irul, bibir halus Sita kurasakan perlahan-lahan mengecup bibirku. Kami juga selekasnya terturut dalam kecupan panas yang garang dan basah. Dengan demikian eksotik kami sama-sama mengulum, menjilat dan tukar air liur. Saya dan Sita sebetulnya bukan lesbian, tetapi tekanan birahi yang sekarang kuasai, membuat kami menjadi lupa diri jika sebenarnya kami ialah makhluk semacam.
Saat saya dan istrinya kelihatan asyik sama-sama kulum dan sama-sama jilat, di bawah sana, kecupan bang Irul telah menjalar turun sampai ke perutku yang langsing tanpa lemak. Sekalian menciumi pusarku, ke-2 tangan lelaki itu perlahan-lahan menggenggam ujung celana panjangku dan memelorotkannya turun sampai lepas. Bang Irul selanjutnya menciumi ke-2 paha mulusku dengan penuh gairah. Kecupannya berasa mengelitik, apalagi sesudah bersumber di muka celana dalam putih yang kukenakan. Kain imut tipis menerawang tersebut yang sekarang cuma jadi pemisah di antara lidah bang Irul dengan vaginaku.
“Hhhmm… Hhhmm…!” cuma itu yang keluar mulutku yang sekarang sedang dicumbui oleh Sita.
Saya harus seringkali gerakkan bokongku meredam geli karena permainan lidah bang Irul yang seringkali sentuh klitorisku. Ini bermakna celana dalamku telah sukses dienyahkan oleh lelaki tersebut.
Saya betul-betul rasakan kepuasan yang hebat. Bibir dan payudaraku terus-terusan dimainkan oleh Sita, sedangkan ketika yang bersama, vagina dan klitorisku terus dimainkan oleh si suami.
Berasa sekali jika di bawah sana telah makin basah dan becek, dan payudara dan putingku sendiri berasa sebegitu menegang. Permukaan kasar lidah bang Irul sangat nikmat kurasakan saat menari-menari bebas antara bulu-bulu tipis basah yang berada di selangkanganku. Sekarang ini, saya telah betul-betul melayang-layang karena gelora gairah birahi yang mereka beri.
Melihatku yang siap tempur, bang Irul lantas hentikan jilatannya. Ia bergerak dari tempatnya samping mengocak-ngocok tangkai penisnya sendiri yang telah makin menegang. Lelaki itu merasa tangkai penisnya belumlah cukup tegang untuk memberi kepuasan ke 2 orang wanita yang dengannya sekarang ini. Dia juga memerintah Sita menghentika kecupan bibirnya dan lantas arahkan tangkai penis itu ke mulutku yang tetap terbujur pasrah. Saya sedikit gelagapan terima kocokan penis besar bang Irul dalam mulutku. Ujung penis lelaki itu berasa seringkali sentuh ujung tenggorokanku. Karena takut terselak, aku juga memutuskan untuk menukar posisi jadi duduk.
Posisi kami juga ganti. Sekarang bang Irul duduk di ujung tempat tidur, di mana tangkai penisnya dijilati oleh saya dan Sita dengan berganti-gantian. Ia terlihat mirip orang raja yang dilayani penuh cinta oleh 2 orang selirnya. Saat giliranku mengoral, Sita bangun dan mencium bibir si suami sekalian merabai dada sektor lelaki tersebut. Lumayan lama ke-2 nya sama-sama lumat, sebelumnya terakhir Sita menyorongkan payudara kanannya ke dalam mulut lelaki itu, minta untuk disedot dan dilumat. Bang Irul juga dengan suka hati melumat dan menjilat-jilati payudara montok punya si istri, yang ukuran semakin lebih besar dibanding punyaku.
“Aaah…!” Sita mendesah perlahan saat bang Irul sedikit menggigit puting payudaranya, sebelumnya setelah membuat sejumlah cupangan di atas daging montok tersebut.
Kami selanjutnya ganti posisi. Sekarang Sita yang mengulum tangkai penis suaminya dan saya mencumbu bibir dan dada bang Irul. Lelaki itu kelihatan tidak yakin jika yang awalannya malu rupanya dapat demikian liar saat kebakar birahi.
“Ooohh… Oooohh…” bang Irul cuma dapat mendesah penuh kepuasan memperoleh servis sempurna dari kami berdua.
“Pa, masukkan ya? Telah tegang sekali ini.” Sita hentikan kulumannya.
“OK dech, siapakah yang lebih dulu?” bertanya bang Irul.
“Indri saja dech” Sita menunjuk diriku.
Saya benar-benar tidak menentang usulnya, karena sekarang ini saya benar-benar sangat ingin selekasnya ditiduri. Tidak sabar rasanya. Memekku berasa gatal sekali.
Bang Irul juga mengikuti kata-kata istrinya. Lelaki itu membaringkan badan montokku di tempat tidur dan buka ke-2 paha mulusku lebar-lebar. Sesaat ia terlihat menelan ludah melihati vaginaku yang kelihatan demikian cantik dan memesona. Mahfum tidak pernah melahirkan. Dipandangi semacam itu membuat mukaku memeras karena malu.
“Telah, bang. Cepat kerjakan!” saya minta.
Tidak sabar rasakan kepuasan vaginaku, dengan selekasnya bang Irul menusukkan tangkai penisnya. “Aaaahhh…!!” baik saya atau lelaki itu berteriak bersamaan penuh kepuasan demikian benda panjang yang kaku dan berotot itu terjang vaginaku.
Saya yang telah diamuk birahi, seperti mendapatkan siraman air di tengah-tengah padang pasir merasakan kontol bang Irul yang dirasa menggesek penuh dan mantab. Lelaki itu juga pun tidak menghabiskan waktu, rasakan capitan memekku yang kuat dan kuat, ia selekasnya menggoyahkan pinggulnya untuk menyerang dan menusuk-hujamkan kontolnya, mengocak dan menelusuri vaginaku yang sempit dan legit.
“Arghhhhh…” saya mendesah, benar-benar nikmati persetubuhan tersebut.
Sita yang menanti gantian, mencium bibirku yang sekarang terbuncang-guncang luar biasa untuk habiskan waktu. Ia meraba-raba payudara bulatku yang bergoyang-goyang tidak kalah luar biasanya.
“Bagaimana, In, sedap?” bisik Sita nakal di telingaku.
“Aaah… e-enak, Sit.” sahutku gemetaran.
“Cicipi saja, In. Agar kamu cepat hamil. Hehe..”
“I-iya,”
Sita tersenyum kecil dengar kata-kataku. Ia lantas melumat lagi payudaraku sekalian tangannya meraba-raba klitorisku, menolong suaminya yang makin terus-menerus menusuk-hujamkan tangkai penisnya.
“Ma, nunging gih, gantian mama yang saya entot sekarang ini. ” kata bang Irul tersengal-sengal.
Sita juga menurut. Dia selekasnya ambil posisi nungging di sampingku yang terbujur terlentang. Bang Irul selanjutnya mengambil tangkai penisnya dari dalam vaginaku dan mengganti memasukkan ke vagina si istri.
“Aaakkhh…!” Sita melenguh perlahan, ia pejamkan matanya sekalian meremas kuat sprei.
Tangkai penis si suami yang menusuk kuat ke vaginanya cukup memberi rasa nikmat yang hebat. Apalagi saat lelaki itu mulai menggerakkan mundur-maju secara cepat dan dalam, lubang kepuasan Sita yang sebelumnya sebelumnya sempat jadi kering, sekarang jadi basah dialiri lagi cairan cinta. Ditengah-tengah pacuan si suami, Sita menggigit bibirnya. Betul-betul nikmat rasanya. Bercinta dengan lelaki itu sebelumnya tidak pernah menyebalkan.
Saya yang tidak ingin hanya menjadi pemirsa, mulai meraba-raba badan mulus Sita. Payudara, paha, pinggang dan beberapa bagian badan peka yang lain, kuusap dan kubelai dengan penuh gairah. Bahkan juga bukan hanya sentuh, saya mulai menciumi dan menjilat-jilatinya. Sekujur badan Sita kutelusuri untuk menolong teman dekatku ini nikmati penuh persetubuhan yang sekarang dia kerjakan bersama suaminya.
“Gantian mbak Indri kembali.” sebut bang Irul ditengah-tengah pacuannya.
Layaknya seperti Sita, aku juga menungging di atas tempat tidur, memberikan seutuhnya vaginaku untuk suami teman dekatku tersebut. Bang Irul meremas-remas bokongku sesaat saat sebelum menarik penisnya dari dalam vagina si istri.
“Aaakhh…” saya menjerit saat penis lelaki itu menusuk lagi kuat ke vaginaku.
Sita menciumi lagi bibirku supaya tidak nganggur. Saya menjadi harus membagikan fokus di antara nikmati pacuan bang Irul dengan permainan lidah Sita dalam mulutku. Ke-2 nya memberi kesan kepuasan tertentu bagiku.
Style doggie ini tidak berjalan lama karena Sita menyuruhku untuk ambil posisi woman on hebat. Bang Irul tiduran di atas tempat tidur, sedangkan saya di atas menggoyang-goyangkan pinggulku, dengan penis besar bang Irul sebagai pusatnya. Ini membuat tangkai penis bang Irul menancap dalam di lubang vaginaku. Posisi semacam ini mempermudah Sita untuk berganti-gantian melumat bibir si suami atau bibirku.
“Hhhmm… Hhhmmm… Hhhhmmm…” desahan ketahan keluar bibirku yang berciuman panas dengan Sita.
Bang Irul sendiri, ditengah-tengah dera rasa nikmat karena capitan vaginaku, kelihatan demikian kagum melihat dua wanita elok yang bercumbu riang tanpa malu di hadapannya. Benar-benar panorama yang eksotik dan menghidupkan nafsu. Apalagi Sita seringkali menarik keluar kontolnya dari capitan vaginaku dan mengulumnya, tidak perduli walau cairan cintaku demikian berasa di atasnya, sampai membuat bang Irul menjadi semakin menggeram dan semangat dibikinnya.
“Oooohh…!!!” saya dan bang Irul mendesah rasakan kelamin kami yang berpadu lagi.
Berganti-gantian kami mendesah, berteriak dan melenguh penuh kepuasan. Kami seolah-olah lupa jika sedang bercinta di depan Sita, istri resmi bang Irul yang teman dekat baikku.
Sita sendiri terlihat tidak berkeberatan menyaksikan tingkah kamu berdua. Ia justru repot meraba-raba bibir vagina dan klitorisku untuk menolongku cepat mendapat orgasme. Perlakuannya itu membuatku mendesah-desah kegelian.
Terima pacuan penis dan permainan jari-jari di klitoris, aku juga berserah.
“Arghhhhhh…!!!” sekalian melenguh kuat, kutumpahkan cairan kewanitaanku. Badanku gemetaran, sedangkan kepalaku mendangak ke atas dengan mata terpejam.
Bang Irul yang ternyata tidak kuat, selekasnya mengambil tangkai penisnya dan menyuruhku untuk tiduran di tempat tidur. Sementara saya nikmati kesan kepuasan yang barusan menimpa, lelaki itu menusukkan lagi tangkai penisnya ke vaginaku. Ia mengocaknya lagi secara cepat dan kuat. Ia terlihat makin kesetanan, karena mungkin karena sangat enaknya capitan memekku.
“Aaaahh… Ahhhhhh… In, vaginamu sangat nikmat!” ceracaunya.
“Penis abang sedap.” balasku, tanpa merasa takut didengarkan oleh Sita.
Sita yang setia melihat, sedikit merasa cemburu dengar kata-kata kami. Tetapi ia selekasnya menyingkirkannya jauh karena bagaimana juga ia yang mengajukan usul persetubuhan ini . Maka jika rupanya saya dan suaminya menikmatinya, itu bukan salah kami berdua.
“In, saya keluar… Aaaakkhh…!!!” bang Irul menggeram. Badan kurusnya melafalkanng, dan dari dalam
kontolnya menyemprotkan cairang kental hangat langsung penuhi lubang vaginaku. Lelaki itu memencetnya dalam-dalam supaya cairan itu masuk semuanya, tidaklah sampai tertumpah keluar.
“Trims ya, Bang.” Kudaratkan kecupan mesra di bibir lelaki tersebut.
Sita yang berada di dekatku cuma tersenyum kecil.
“Bagaimana, sedap? Hehe…” godanya.
“Sedap sekali!” ucapku oke. “Suamimu memang hebat markotop.” kuacungkan dua jempol padanya. “Semoga dengan ini saya dapat hamil.” saya mengharap.
“Jika belum juga hamil , saya ingin kok mengulangnya kembali.” sahut Bang Irul.
“Yeee, penginnya!” saya dan Sita berteriak bersamaan.
“Say, sini dech.” suamiku panggil.
Dari raut wajahnya kelihatan jika ia siap beritahukan rahasianya.
“Mas siap menjelaskannya saat ini?” saya menanyakan.
Tidak menjawab, suamiku justru memberikan sebuah amplop tebal warna coklat. “Membuka, Ma!” bisiknya. Aku juga membuka, dan melongo.
“Bagaimana, cantik kan? Itu rumah baru kita.” ucapnya dengan senang. Mata bulatnya terlihat berbinar-binar.
“Jadi ini yang sejauh ini mas menyembunyikan?” tanyaku kelu melihati beberapa foto sebuah rumah imut dengan lantai 2 yang cantik.
Comments are closed.